24 Agustus 2010

Menari bersama Rumi

Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan.
Begitulah caranya!

Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!

Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!

Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah
menjadi sembilan puluh sembilan saja.

Begitulah caranya!
Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!
Karena Tuhan telah berfirman:
"Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu."


Alkisah, setelah mendengarkan penjelasan Rumi tentang sebuah permasalahan kepada murid-muridnya, Al-Qunawi, murid utama Ibn 'Arabi bertanya kepadanya, "Bagaimana mungkin dirimu memiliki kesanggupan untuk menjelaskan perkara metafisika yang sedemikian rumit dan mendalam dalam bahasa penyampaian yang sedemikian sederhana?" Rumi menjawab, "Bagaimana mungkin dirimu memiliki kesanggupan untuk membuat perkara yang sedemikian sederhana terdengar sedemikian rumit?". Anekdot di atas menunjukkan bahwa metode spiritual yang diajarkan Jalaluddin al-Rumi, tasawuf dengan ciri khasnya, tarian berputar, bisa memikat siapa saja yang memiliki kesanggupan untuk mengapresiasi keindahan dan musik, apapun jenjang pendidikan yang dimilikinya. Rumi menggunakan fenomena paling wajar dan pengalaman kehidupan sehari-hari sebagai tamsil untuk menjelaskan derajat tertinggi spiritual. Dia pun menggunakan istilah teknis yang luas, terutama diambil dari bahasa sehari-hari masyarakat, bukan bahasa para filosof dan teolog, meskipun ada juga beberapa bait puisinya yang sulit dimengerti.

Dialah Jalaluddin al-Rumi yang pernah diramalkan oleh Fariduddin al-Attar akan menjadi seorang sufi besar. Perubahan besar muncul dalam diri Rumi semenjak dia bertemu dengan Syams Tabrizi, sufi eksentrik. Bagaimana tidak, Syams sendiri mengakui bahwa dirinya memang dianggap aneh, tidak dapat dimengerti manusia dan di luar kebiasaan mereka, bahkan dalam satu riwayat dia mengatakan: "… Kata-kataku sedemikian tinggi sehingga untuk melihatnya, engkau harus menengadahkan kepala hingga topimu terjatuh".

Syams dibimbing untuk berjumpa dengan Rumi melalui sebuah mimpi. Syams menjelaskan keberadaan dirinya sebagai berikut:
"Aku tak punya urusan apapun di dunia ini dengan orang awam, aku tidak datang demi mereka. Aku menjadi teman setia bagi siapapun yang menuntun dunia menuju Tuhan."
"Ketika aku menjumpai Maulana, kondisi pertama yang harus ditegaskan adalah diriku tidak datang sebagai seorang syaikh. Tuhan tidak menciptakan seorang manusia di bumi ini yang dapat berlaku sebagai syaikh bagi Maulana. Demikian pula, aku datang bukan sebagai seorang murid sebab diriku telah melampaui derajat itu."
Syams juga menjelaskan hubungannya dengan Rumi melalui sebuah parabel:
"Seorang saudagar memiliki lima puluh agen yang berkelana ke setiap penjuru dan memperdagangkan barang miliknya. Namun, dia pergi mencari sebutir mutiara dan mengetahui bahwa ada seorang penyelam khusus pencari mutiara. Dia sempat berpapasan dengan sang penyelam, maka sang penyelam mencari dirinya. Mutiara itu tersembunyi di antara sang saudagar dan penyelam. Sang saudagar awalnya pernah menyaksikan mutiara itu dalam mimpi dan mempercayai mimpinya, seperti Yusuf …. Saat ini, Maulana adalah penyelam, sang saudagar adalah diriku sendiri, dan mutiara itu ada di antara kami."

Pertemuan yang kedua antara dua pencinta Tuhan ini membawa dampak besar pada diri Rumi. Dia mulai meninggalkan semua aktifitas kesehariannya sebagai guru besar di Konya, dia menanggalkan jubah kebesarannya, berhenti mengajar dan berkhutbah, dan mulai menghadiri kegiatan sama' Syams secara teratur. Perubahan ilahiah yang terjadi pada Rumi ini disadari oleh seluruh kota. Rumi menyinggung perubahan yang dijalaninya antara lain dalam bait berikut:
Dahulu, jemariku senantiasa menggenggam al-Qur'an,
tetapi kini ia menggenggam kendi Cinta.
Dahulu, mulutku penuh dengan pujian,
tetapi kini, ia hanya melantunkan puisi dan nyanyian.

Sebenarnya pengaruh kehadiran Syams pada diri Rumi tersebut diketahui pasti oleh Syams. Dia sendiri pernah mengatakan bahwa tanda bahwa seseorang telah menjadi sahabatku adalah terasa dingin pahitnya persahabatan dengan yang lain –bukan dalam taraf yang masih memungkinkan persahabatan dengan orang lain terus berlanjut meski telah dingin, melainkan dalam taraf sedemikian rupa sehingga ia tidak mampu lagi bersahabat dengan selainku.

Kesetiaan Rumi kepada Syams membangkitkan kecemburuan pada sejumlah pengikutnya. Atmosfer tak bersahabat yang akhirnya timbul membuat Syams pergi meninggalkan Konya setelah tinggal selama 16 bulan. Dalam kepedihannya, Rumi mengasingkan diri dari semua orang. Saat sepucuk surat yang dikirim Syams dari Suriah tiba, Rumi mengirimkan kepadanya sejumlah ghazal yang melukiskan keadaannya setelah ditinggal pergi oleh Syams:
Tanpa kehadiranmu, sama' adalah terlarang;
seperti halnya setan, pesta adalah kutukan.
Tanpa kehadiranmu, tak satu pun ghazal yang kutorehkan;
ketika pesanmu datang, lima atau enam bait telah kuciptakan karena kegembiraan dalam mendengarnya.

Rumi mengutus Sultan Walad, putranya kepada Syams, yang pada akhirnya kembali menetap di Konya sampai 645 H/1247-48 M, ketika Syams menghilang. Konon Syams dibunuh oleh para murid yang merasa cemburu, bahkan juga melibatkan putra Rumi sendiri, Ala' al-Din. Namun, Rumi tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia berpikir Syams telah meninggal dan tidak mengasingkan diri seperti halnya yang terjadi saat pertama kali kehilangan Syams. Sebagai gantinya, dia mencurahkan diri pada sama' dan melantunkan nyanyian kepedihan hati dan kerinduan. Dua tahun setelah kelenyapan Syams, dia mengambil kesimpulan bahwa Syams hanya akan dapat ditemukan di dalam dirinya sendiri.

Tak bisa dipungkiri, dari pribadi Syams-lah, Rumi dapat menyempurnakan kapasitas batinnya. Sebelum bertemu Syams, Rumi belajar tasawuf dari ayahnya, Baha al-Din Walad -kemungkinan besar murid dekat Najm al-Din Kubra pendiri tarikat Kubrawiyah, dan murid ayahnya, Burhan al-Din Tirmidzi. Baha al-Din Walad mempunyai kitab dari kompilasi khutbahnya, Ma'arif. Isi kitab Ma'arif sendiri bisa dikatakan lebih menekankan pada cinta dan kelembutan Tuhan. Sebaliknya, dari Maqalat milik Syams Tabrizi seakan menunjukkan aspek Maha Pemaksa Tuhan dan Keagungan-Nya. Konon Rumi senantiasa membawa Ma'arif karya ayahnya dan mempelajarinya hingga saat Syams melarangnya membaca kitab itu. Perbuatan Syams tersebut mungkin melambangkan keinginannya untuk memperkuat kapasitas batin Rumi untuk sanggup memancarkan aspek keagungan dan kekerasan Tuhan. Dari ayahnya, Rumi menyelami samudera cinta dan kelembutan Tuhan. Sedang dari Syams, Rumi mempelajari bagaimana kerasnya Tuhan, kepedihan serta kegelisahan hati akibat perpisahan. Dua hal inilah yang diperlukan bagi seorang pecinta dalam mencapai kesempurnaan spiritual. Seperti yang sering dituturkan Rumi, sebelum mencecap air segar, seekor burung tak akan menyadari bahwa dirinya hidup di atas air asin; sebelum mencecap persatuan dengan Tuhan, seorang pejalan tak akan menyadari sesungguhnya dirinya menggeletak dalam keterpisahan dengan Tuhan yang merupakan kepedihan tak terbatas.

Bagi Rumi cinta adalah jantung dan tema sentral segenap spiritualitas. Dalam nyanyiannya Rumi menceritakan pengalaman akan cinta dan menyalakan api cinta dalam hati manusia. Dia mendorong manusia untuk meninggalkan segenap kekasih yang semu dan beralih pada Kekasih yang Sejati.
Bersahabatlah dengan kami, jangan berkawan dengan orang bodoh! Jangan seperti seekor keledai –mengapakah dirimu mengendusi buntut setiap keledai betina?

Awal dan akhirmu adalah Cinta yang abadi –jangan menjadi seorang pelacur, yang mendekap lelaki yang berbeda setiap malamnya.

Tengadahkan hatimu pada Hasrat itu, yang tak akan mungkin dapat terpisahkan. Wahai manusia berhati singa, jangaan jadikan hatimu bak anjing yang berdiri di lorong-lorong.

Ketika dalam kepedihan, engkau mendamba penawar –palingkan wajahmu pada sang Penawar, jangan lagi pada ini dan itu.

Jangan seperti unta yang berlari menuju semak berduri –mengapa kauacuhkan sang taman, mata air, padang rumput, dan sungai kecil yang mengalir.

Perhatikanlah! Sang Kaisar telah mengadakan perjamuan kerajaan. Demi Tuhan, janganlah terus berlapar-lapar di tong sampah ini!

Pangeran kita, si pemain polo telah memasuki gelanggang –jadikan hatimu dan ruhmu sebagai bola yang bergulir di bawah kaki kuda-Nya!

Basuh wajahmu sebersih-bersihnya –jangan salahkan cermin! Murnikan batang emasmu –jangan salahkan neraca!

Buka bibirmu (untuk berbicara) hanya kepada Dia yang telah memberi bibir kepadamu, berlarilah hanya kepada-Nya yang telah memberi kaki kepadamu! Sadarilah bahwa wajah dan rambut terurai dari kemolekan ini hanyalah semu –jangan pernah menyebut mereka "si wajah rembulan, ikal rambut bak sutra!"

Pipi, mata, dan bibir hanya dipinjamkan pada segumpal tanah bumi –jangan terlampau berhasrat tampil menawan di depan si buta.

Keindahan Cinta memanggilmu, "Sama' akan berlangsung selamanya" –berseru dan menarilah hanya untuk memburu Keindahan itu

Jangan lagi mengucapkan kata, puisi, atau bisikan perlahan dalam bibirmu. Kata-kata adalah selubung –buatlah selembar selubung saja, jangan buat ratusan!




Rumi meninggalkan sejumlah karya, antara lain:
* Diwan i Syams i Tabrizi, terdiri dari kurang lebih 40.000 baris ghazal dan puisi. Diwan berisi puisi cinta, merayakan sukacita persatuan dengan Sang Kekasih, serta kegundahan akibat perpisahan dengan-Nya. Puisi dalam Diwan berkenaan dengan segenap periode perkembangan spiritual Rumi setelah kedatangan Syams.
* Matsnawi, yang terdiri dari 25 ribu bait puisi dalam 6 buku yang ditulis dalam jangka waktu lebih dari 16 tahun. Matsnawi memuat lebih dari 300 anekdot dan cerita panjang serta pendek yang menggambarkan berbagai macam dimensi kehidupan spiritual tasawuf.
* Fihi ma Fihi, karya prosa pendek meliputi tema yang sama dengan Matsnawi.
* Majalis Sab'ah, karya yang ditulis sebelum kedatangan Syams; sebuah karya bernada mistik, tetapi memiliki penekanan moral dan etika yang kuat.





Ekstra:
Alasan Keberadaan Kebaktian Musikal dan Tariannya


Rumi menerangkan kepada murid-muridnya alasan keberadaan kebaktian musikal dan tariannya: "Allah sangat memperhatikan masyarakat Rum. Sebagai jawaban terhadap sebuah doa(?) khalifah pertama, Abu Bakar, Allah menjadikan orang-orang Rum sebagai wadah utama curahan rahmat-Nya. Sedangkan negeri orang-orang Rum (Asia kecil) adalah negeri yang paling indah di muka bumi. Namun rakyat negeri ini benar-benar tidak memikirkan tentang betapa kayanya mencurahkan cinta kepada Allah itu, dan tidak terlintas dalam benaknya untuk menyukai kenikmatan-kenikmatan kehidupan spiritual. Yang menciptakan segala sebab mewujudkan sebuah sumber kasih sayang, dan mewujudkan suatu sarana yang menjauhkan diriku dari negeri Khurasan menuju negeri orang-orang Rum. Negeri itu dijadikan-Nya sebagai tempat tinggal bagi anak-anak dan keturunanku, agar, dengan mukjizat rahmat-Nya, tembaga keberadaan mereka diubah (dieliksir) menjadi emas dan menjadi obat, sehingga mereka masuk ke dalam jamaah para wali. Ketika aku melihat bahwa mereka tidak menyukai praktik kesahajaan religius, dan tidak mengetahui misteri-misteri Ilahi, aku berencana menciptakan teguran-teguran berirama (metrikal) dan kebaktian-kebaktian musikal, untuk mempesonakan pikiran manusia, dan lebih khusus lagi bagi orang-orang Rum, yang memiliki watak riang, dan menyukai paparan-paparan yang tajam. Anak kecil, kalau sakit, dibujuk supaya mau minum obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya meskipun obat itu pahit rasanya. Seperti itu pula, orang-orang Rum dipandu oleh seni supaya mereka dapat merasakan lezatnya kebenaran spiritual."


Pembelaan Rumi pada Sufi-sufi Pemabuk

Rumi juga membela sufi yang ekstase seperti al-Hallaj, dan yang lain. Dia menerangkan bahwa ungkapan "Aku adalah Tuhan bukanlah pengakuan atas keagungan. Melainkan suatu kerendahan hati yang total. Seseorang yang berkata "Aku adalah hamba Tuhan" menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan. Sedangkan ungkapan "Aku adalah Tuhan" berarti peniadaan diri, yakni, dia menyerahkan keberadaan dirinya sebagai kekosongan. Dikatakan "Aku adalah Tuhan" bermakna "Aku tidak ada; segala sesuatu adalah Dia. Keberadaan adalah Tuhan sendiri, aku bukan keberadan sama sekali; bukan apa-apa". Pernyataan ini demikian luar biasa, lebih dari pengakuan terhadap keagungan apa pun. Sayangnya, banyak yang tidak memahami.
Rumi melukiskan pula bahwa sang sufi tersebut bagaikan sebatang besi yang karena dipanaskan dalam api menjadi merah menyala, sehingga besi itu akhirnya berkata, "Akulah api". Besi itu mempunyai warna api, meskipun ia adalah besi.

Warna besi hilang dalam warna api;
Besi membanggakan kehebatannya,
Meskipun sebenarnya ia diam
Ia menjadi mulia karena warna dan sifat dasar api;
Ia berseru, "Aku adalah api, aku adalah api."



Penyelamatan Kota Konya

Setelah Jalaluddin al-Rumi wafat, Kigatu Khan, seorang jendral Mongol akan datang menyerbu Konya, bermaksud menjarah kota itu dan membantai penduduknya. (Dia menjadi raja dari tahun 690 sampai 696 H/1290 sampai 1294 M).
Malam itu, dalam sebuah mimpi, dia melihat Jalaluddin al-Rumi mencekik lehernya, dan hampir saja dia tidak bisa bernafas, seraya berkata kepadanya: "Konya itu milikku. Apa yang kau inginkan dari penduduknya?"
Begitu sadar dari mimpinya, dia segera saja berlutut seraya memohon ampun, dan juga mencari keterangan mengenai makna mimpinya. Dia mengutus seorang duta untuk meminya izin baginya untuk masuk ke kota itu sebagai tamu baik-baik.
Ketika sampai di istana, bangsawan-bangsawan Konya berdatangan ke istananya membawa hadiah-hadiah istimewa. Ketika semuanya duduk khidmat, tiba-tiba Kigatu bergetar hebat, dan bertanya kepada salah seorang pangeran kota itu yang duduk di atas sofa di dekatnya: "Siapa kiranya orang yang duduk di sebelahmu di atas sofamu?" Pangeran itu menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat siapa-siapa. Dia segera menjawab. Kigatu menyahut: "Apa? Apa katamu? Aku melihat seorang lelaki tinggi duduk di sebelahmu. Janggutnya menggerikan, dan air mukanya pucat, surban abu-abu dan selebar kain cita wol India menutupi dadanya. Dia menatap ke arahku dengan penuh selidik."
Pangeran itu segera menduga bahwa bayangan Jalaluddin ada di sebelahnya, dan menjawab: "Mata suci yang mulia sajalah yang dapat menyaksikan hal itu. Itulah putra Bahauddin dari Balkh (sekarang ini di Afghanistan), guru kami Jalaluddin, yang dimakamkan di negeri ini."
Khan menjawab: "Semalam aku bertemu dia dalam mimpi. Dia hampir saja membuatku tidak bisa bernafas, seraya berkata kepadaku bahwa Konya itu miliknya. Nah, pangeran, aku anggap kau ayah angkatku. Aku hampir saja berniat menghancurkan kota ini. Katakan, apakah orang suci ini mempunyai putra atau keturunan yang tinggal di sini?"
Pangeran itu mengatakan kepadanya tentang Sultan Walad, yang kini menjadi syaikh kota itu, dan wali Allah yang tiada duanya. Kigatu menyatakan keinginannya untuk pergi mengunjungi sang syaikh. Pangeran itu mengantarnya dan juga bangsawan-bangsawannya pergi menemui Sultan Walad. Mereka semua menyatakan diri menjadi murid-muridnya, dan memakai surban darwisy. Sultan Walad bercerita kepada Khan sejarah terusirnya kakeknya dari Balkh, dan tentang peristiwa setelah pengusiran itu. Khan memberinya hadiah-hadiah berharga, dan menyertainya berziarah ke makam wali yang sudah tiada itu.


Konya akan Semarak


Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.
Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlalu, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. Tetapi, "kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi", tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.


Nyanyian-nyanyian Rumi
Bisa dilihat di sini dan di sini

(Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar