21 Juni 2010

Ketika Janggut dan Rambut Mulai Memutih

Suatu pagi setelah mandi. Ketika merapikan diri di depan cermin, tiba-tiba bola mata fokus pada sesuatu yang ada di dagu. Sesuatu yang lain jika dibandingkan dengan yang lainnya, meskipun namanya sama: Janggut. Ia lain karena warnanya berbeda. Jika yang lain berwarna hitam pekat, maka 1 lembar janggut ini berwarna lain. Warna yang sama sekali berlawanan dengan yang lainnya: Putih.
Di hari yang lain, masih depan cermin, pandangan terfokus pada beberapa lembar rambut di atas kuping. Seperti halnya janggut, rambut itu juga berwarna putih. Atau mungkin orang lebih umum menyebutnya sebagai uban.
Kata orang, rambut dan janggut yang mulai berwarna putih adalah tanda usia yang mulai memasuki "tua". Tetapi ada sebagian orang yang mengatakan bahwa rambut putih itu adalah trend. Banyak orang yang sengaja mengecat beberapa lembar rambut dan janggutnya dengan warna putih. Tujuannya satu: supaya ngetrend.
Menurut aku, memang umur seseorang tidak diukur dengan warna rambut dan janggut. Tetapi itu bisa jadi peringatan. Hati-hati, hari sudah mulai memasuki siang hari. Oleh karena itu, pekerjaan yang masih belum selesai harus segera diselesaikan.
Tapi kalau orang menilai, aku lebih suka itu dinilai sebagai trend. Bukan sebagai pertanda bahwa hari telah menjelang siang. Karena menurut aku, menyelesaikan pekerjaan tidak harus menunggu hari menjelang siang. Dari pagi, pekerjaan tetap harus dimulai dan dilakukan dengan seksama. Karena bukankah kedewasaan seseorang tidak diukur oleh usia apalagi oleh warna rambut? Tetapi lebih bagaimana ia bersikap dan menyikapi hidup.

14 Juni 2010

Kupas Wesel


Masih ada kaitannya dengan wikikeretapi (alias wikinya kereta api, hehe.. maksa dikit lah), kali ini akan dibahas segala macam yang berkaitan dengan istilah “wesel”, berikut juga dilampirkan contoh foto-fotonya.

Wesel, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
• surat pos untuk mengirimkan uang
• surat pembayaran yang dapat diuangkan ke bank oleh pemegangnya
• konstruksi batang-batang rel kereta api yang bercabang (bersimpangan) tempat memindahkan jurusan jalan kereta api

Pada blog ini tentunya hanya akan dibahas mengenai point yang ketiga saja.

Ada empat alasan kenapa kereta api harus berpindah spur :
1. Karena kereta api menuju arah yang berbeda dengan spur lurus dimana kereta api sekarang bergerak.
2. Karena ada kereta api pada spur lurus sehingga kereta api yang baru datang harus ditampung pada spur lain.
3. Karena kereta api akan berhenti untuk naik dan turun penumpang di stasiun dan tidak pada spur lurus.
4. Karena untuk melakukan kegiatan langsir.


Disinilah wesel akan sangat berperan penting dalam proses perpindahan jalur kereta api. Jika dilihat pada foto ini (dari arah gambar diambil), maka fungi wesel sendiri bisa sebagai menggabungkan rel yang banyak menjadi satu tujuan, (arah ini biasa disebut wesel keluar)





Atau dapat juga kebalikannya yaitu dari rel yang satu jalur menjadi bercabang banyak (arah ini biasa disebut wesel masuk).







Jalur jalan kereta api dapat memotong jalur jalan kereta api lain pada jaringan jalan rel yang melayani beberapa arah. Perpotongan dilakukan pada persilangan dengan pengamanan dari stasiun setempat.


Jenis Wesel

Pada permulaannya perpindahan spur dilakukan dengan menggunakan wesel dimana ada empat bagian yang bergerak, yaitu dua pada lidah wesel dan dua pada hati wesel (kalau wesel jenis ini tidak ada contohnya di Indonesia). Wesel dengan empat bagian yang bisa digerakkan sangatlah ideal. Namun untuk menerapkan konsep ini, apalagi pada kereta api dengan tekanan gandar yang berat dan berkecapatan tinggi, tidak mudah. Mekanisme untuk menggerakkan keempat bagian tersebut dan menempatkan pada posisi terkunci menjadi persoalan yang tidak mudah dipecahkan.

Wesel yang banyak digunakan sekarang hanya memiliki dua bagian yang dapat digerakkan. Kedua bagian yang dapat digerakkan tersebut diikat menjadi satu dan posisinya bergeser bersama pada saat digerakkan. Kedua bagian tersebut adalah lidah wesel kiri dan lidah wesel kanan yang dipasang ditengah-tengah rel utama dan berfungsi merubah arah perjalan roda.

Lidah wesel adalah bagian yang menentukan arah gerak roda. Sepasang lidah dihubungkan dengan sebuah batang besi sehingga gerak sepasang lidah tersebut bersama-sama. Jika lidah menempel pada rel kiri maka pada rel kanan lidah akan memberi celah untuk roda lewat. Demikian juga sebaliknya.

Bagian lain dari wesel, yaitu hati wesel merupakan bagian tetap yang tidak bisa digerakkan dan dibiarkan mempunyai celah agar flens roda dapat melewatinya. Bagian ini terkena hentakan roda akibat adanya celah yang disediakan bagi flens roda. Karena itu hati wesel biasanya dibuat dari baja (mangan steel) agar bertahan lama. Bagian ujung dari hati wesel dibuat lebih rendah 8 mm dari permukaan rel dan hanya menyangga bagian sisi dari flens roda. Bidang jalan roda menginjak rel sayap tanpa menyentuh ujung hati wesel. Seteleh roda berada pada bagian hati wesel yang mempunyai lebar sekitar 70 mm barulah beban roda kembali ditopang oleh hati wesel.

Untuk lintas cabang yang tidak padat dan untuk menekan biaya investasi, hati wesel juga bisa dibuat dari dua batang rel yang dipotong menyudut dan disatukan untuk mengikuti bentuk hati wesel. Dalam situasi sulit, pembuatan hati wesel dari rel yang ada merupakan satu pemecahan yang sangat membantu. Walaupun efeknya adalah timbulnya semboyan 2A, atau bahkan 2B




Jika hati dan lidah wesel mempunyai posisi yang saling berdekatan, maka akan membentuk seperti contoh foto disamping ini.







Bagian hati wesel merupakan titik lemah dan menimbulkan hentakan roda. Pada saat roda berada diujung hati wesel, permukaan roda pada sisi tersebut tidak ditopang. Sehingga hal yang terjadi berulang-ulang dilewati roda ini akan menyebabkan “hati wesel yang terluka”. Seperti layaknya manusia yang juga bisa terluka hatinya. Oleh sebab itu berhati-hatilah dalam bermain hati (loh, jadi gak nyambung nih…)
Maksudnya agar wesel yang dilalui roda dapat berjalan lebih aman, maka di samping / seberang hati wesel tersebut harus dipasangi semacam rel paksa (ukuran pendek) yang berfungsi sebagai penyangga. Dan flens roda yang melewatinya akan diapit oleh rel utama dan rel penyangga, yang akan mengakibatkan hati wesel menjadi lebih aman pada saat dilalui roda.

PERHATIAN :
Ada saat dimana roda kereta yang melalui wesel sedikit "melayang" (floating), yaitu pada saat berpindah dari Sayap Wesel ke Hati Wesel, dimana terdapat celah yang cukup lebar pada bagian itu. Ini terjadi pada semua jenis wesel. Jika roda di beri traksi berlebih (misal : saat dilakukan pengereman) karena beban yang cukup berat, ada kemungkinan flens roda akan sedikit terlontar dari jalurnya saat terjadi perpindahan, pada kecepatan yang cukup tinggi dapat menyebabkan roda keluar dari rel. Ini menyebabkan saat KA melewati Wesel, tidak boleh melakukan pengereman keras atau menarik dengan tenaga penuh untuk menghindari hal hal yang tidak dinginkan. Untuk lebih jelasnya bisa memperhatikan gerakan roda KA yang sedang melewati Wesel di rel rel terdekat di tempat tinggal anda.

Dari foto disamping kanan terlihat ada 2 paket wesel biasa yang berdekatan dan sudah terbentuk dengan sempurna. Jika dibaca pergerakan kereta dari arah lokomotif tersebut berangkat, maka dapat dipastikan bahwa pada saat melewati wesel pertama rangkaian KA akan masuk wesel dan berbelok ke kanan (yang sebenernya wesel terbentuk pada posisi spur lurus), kemudian pada wesel kedua KA juga akan masuk wesel dan berbelok ke kanan (yang terbentuk memang merupakan spur belok).





Ada 5 jenis wesel yang umumnya banyak digunakan adalah :

1. Wesel Sederhana,
yaitu yang terdiri dari dari satu percabangan , jalur lurus dan jalur belok. Jalur percabangan pada wesel dibuat menikung namun tidak diberi peninggian, kecuali pada wesel tikungan. Karena itu kecepatan pada wesel dibatasi menjadi :
V = 2,91 x R
Dimana V [km/jam] dan R[m]
Ada tiga cara menyatakan besarnya jari-bagian spur yang berbelok pada wesel. Pertama, jari-jari merupakan as trek pada bagian yang melengkung. Kedua, jari-jari merupakan jari-jari rel luar yang melengkung pada bagian trek yang melengkung. Ketiga, jari-jari merupakan jari-jari rel dalam yang melengkung pada bagian trek yang melengkung. Jari-jari spur yang berbelok pada wesel juga dikenal sebagai jari-jari wesel.
Cara penulisan wesel adalah :
WS 1900 1:12
Pada penulisan tersebut artinya wesel sederhana dengan jari-jari 1900 m dan sudut 1:12

Sudut wesel dihitung sebagai tangen α atau 2 x sin (α/2) dan pada penulisannya dinyatakan sebagai perbandingan 1:n. Wesel sederhana yang banyak digunakan di Indonesia adalah wesel dengan sudut 1:10 atau 1:12.

Jika wesel dilalui kereta api dari arah lidah wesel menuju ke hati wesel, arah tersebut dinamakan arah muka (facing direction), alias posisi KA masuk wesel. Jika wesel dipandang dari arah hati wesel menghadap ke lidah wesel, maka arah tersebut dinamakan arah buntut (trailing direction), alias posisi KA keluar wesel. Kereta api yang berjalan dari arah buntut lebih aman dibandingkan daripada arah muka.

Sebuah wesel dinamakan wesel muka jika wesel tsb dipasang sedemikian rupa sehingga hanya kereta api dari arah muka yang melalui wesel tsb. Dinamakan wesel buntut, jika wesel tsb dipasang sedemikian rupa sehingga hanya kereta api dari arah buntut yang melalui wesel tsb. Pada lintas dengan spur tunggal, kereta api yang melewati wesel pada umumnya dari kedua arah.

Wesel sederhana dinamakan wesel kanan jika spur belok terletak di sebelah kanan spur lurus. Wesel sederhana dinamakan wesel kiri jika spur belok terletak di sebelah kiri spur lurus. Penentuan kanan dan kiri dipandang dari arah muka.

2. Wesel Ganda,
Yaitu yang merupakan dua wesel sederhana dirangkai satu sama lain. Wesel ganda satu sisi terbentuk dengan letak kedua percabangan ada pada sisi yang sama (misal: kedua wesel tsb terdapat pada sisi kiri, atau sebaliknya pada sisi kanan) . Sementara pada wesel ganda dua sisi, letak kedua percabangan ada pada sisi yang berbeda (cabangnya bisa belok ke kiri terlebih dahulu, atau sebaliknya kanan terlebih dahulu, yang jelas posisi antar wesel ini sangat dekat)

Wesel ganda dipasang jika lahan yang tersedia tidak cukup untuk memasang dua wesel sederhana. Dari segi investasi dan biaya perawatan pemasangan wesel ganda akan menjadi beban dan sebaiknya dihindari. Sehingga tidak ditemukan wesel model seperti ini di Indonesia, karena itu tidak ada contoh fotonya.

3. Wesel Tikungan,
Lengkungan spur belok pada wesel tikungan pasti lebih besar dari lengkungan spur utama. Berkaitan dengan peninggian pada jalan berbelok, penggunaan wesel pada tikungan membuat persoalan peninggian menjadi lebih sulit. Alternatif pemakaian wesel tikungan bisa dibenarkan jika pemasangan wesel sederhana pada spur lurus karena kondisi tertentu menjadi lebih mahal.

Wesel tikungan dengan spur belok yang dibuat pada sisi dalam tikungan spur utama dinamakan wesel tikungan dalam. Wesel tikungan bisa juga dibuat menikung pada arah yang berlawanan dengan tikungan spur utama dan dinamakan wesel tikungan luar.

Ini adalah contoh model wesel tikungan ke kiri yang sedikit “agak maksa”, terdapat pada stasiun Kuripan. Sementara contoh wesel tikungan pada arah yang berlawanan (masih agak maksa juga) terdapat pada foto utama paling atas, yang terdapat di kota solo. Atau orang biasa menyebutnya sebagai segitiga pembalik, karena dapat digunakan untuk memutar 1 set rangkaian kereta api.

Kenapa disebut agak maksa? Karena antara rel yang terdapat sepanjang lidah wesel hingga hati wesel masih belum sepenuhnya berbentuk lengkungan.

4. Wesel Persilangan,
Foto disamping memperlihatkan sebuah wesel persilangan di stasiun Jatinegara. Wesel persilangan memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi, dan resiko gangguan pada kelancaran perjalanan kereta api lebih besar dibanding pada wesel sederhana. Sehingga sangat jarang pada emplasemen stasiun digunakan wesel dengan model seperti ini. Biasanya model ini digunakan pada stasiun yang sudah mentok, seperti pada stasiun Tanjung Priok dan Surabaya Kota. Disini wesel akan sangat berperan dalam mempermudah proses langsiran lokomotif, karena cukup meninggalkan rangkaian pada emplasemen stasiun tsb, dan lokomotif siap kembali pulang dengan melewati wesel persilangan ini.


5. Wesel Persilangan Ganda,
Wesel persilangan ganda atau yang biasa kita disebut dengan Wesel Inggris, memungkinkan pada dua spur yang berpotongan untuk melakukan perpindahan jalur ke semua kemungkinan arah. Foto disamping memperlihatkan Wesel Inggris. Wesel jenis ini memerlukan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi, dan KA yang lewat rawan anjlok. Karena itu biasanya didekat wesel ini ada bertuliskan kata “AWAS WESEL INGGRIS”. Bahkan manusia yang lewat di atas wesel inipun bisa “anjlok” alias kesandung.




Sementara foto disamping kanan ini memperlihatkan alternatif penyusunan wesel sederhana yang sedemikian rupa dengan fungsi yang sama seperti pada Wesel Inggris, tetapi menghindari penggunaan Wesel Inggris. Mungkin bisa disebut “semi wesel inggris”. Dari posisi gambar diambil tampaknya rel yang terbentuk saat itu hanya dapat dilewati KA dari rel yang sebelah kiri, kemudian masuk “semi wesel inggris” dan langsung berbelok ke kanan (atau sebaliknya). Sehingga lokomotif di didepannya harus menunggu.


Ada kalanya wesel inggris bisa turun pangkat dari fungsinya sehari-hari jika kondisinya seperti ini. Dimana dari keempat arah yang ada, salah satunya telah buntu tertutup oleh tanah & rumput (ujung kanan). Nah, kalo udah seperti ini maka tak ubahnya wesel inggris hanya berfungsi sebagai wesel sederhana yang mempunyai dua pilihan cabang (hanya terdapat 3 arah). Kecuali kalau PPKA ingin memanfaatkan rel buntu tsb menjadi spur badug, yang dapat dimanfaatkan secara sengaja untuk “meng-anjlokkan” KA yang berjalan karena tidak diharapkan.





Persilangan Spur

Persilangan spur adalah perpotongan trek pada bidang yang sama. Berbeda dengan wesel, pada persilangan spur tidak terdapat lidah wesel dan yang ada hanya hati wesel. Jadi persilangan dua jalur jalan kereta api ini dilalui tanpa adanya wesel seperti pada umumnya.





Jika suatu saat karena kondisi (atau dikondisikan) suatu lintasan rel menjadi sepi dari lalu-lalang kereta api, maka tunggulah berkurangnya peran dari si wesel tersebut. Sehingga lama kelamaan maka wesel akan menjadi mati, bahkan hal yang terburuk adalah jika jaringan rel tsb akan/telah mati. Dan foto ini adalah menggambarkan peran wesel dan sinyal mekanik yang sudah mati, namun masih beruntung lintasan relnya tidak mati.
Silahkan klik pada gambar untuk menimbulkan efek “mak erot” :D :D




Demikian sedikit penjelasan mengenai wesel beserta fungsi-fungsinya, mohon maaf jika ada kesalahan tulis atau kata-katanya susah dimengerti. Maklum saja yang nulis soalnya bukan seorang ahli wesel.


Terima kasih
Spoorwegen

13 Juni 2010

Posisi Sehat Di Depan Komputer

Ketika kita menggunakan komputer dan kadang-kadang kita merasakan rasa lelah, nyeri khususnya dibagian tangan, atau mata terasa penat, Hal tersebut bisa disebaban karena kita salah didalam mengatur posisi anggota tubuh kita. Kita harus mengatur posisi sehat di depan komputer, seperti pada tulisan sebelumnya mengenai lelah ketika mengetik di depan komputer yang ‘diadopsi’ dari posisi ketika bermain piano.

Mungkin ada baiknya kita mulai sekarang mengatur letak komputer atau posisi tubuh kita ketika menggunakan komputer, apalagi jika kita rutin menggunakannya dan cukup lama penggunaannya. Bagaimana sich posisi sehat tersebut? Berikut ini beberapa kiat yang bisa kita terapkan;

1. Posisi Tubuh
Badan pada posisi tegak didepan komputer dan jarak pandang antara mata dan monitor sekitar 45-70cm.


2. Letak posisi Komputer
Bagi pengguna komputer desktop, sesuaikan posisi keyboard, monitor, dan mouse agar kita bisa mendapatkan posisi yang cocok untuk tubuh kita (seperti pada no 1).


3. Penggunaan Mouse
Ketika menggunakan mouse usahakan agar pergelangan tangan berada pada posisi tidak menggantung atau lebih rendah dari mouse. Usahakan agar posisinya sejajar antara pergelangan tangan dan mouse. Posisi jari tangan usahakan agar selalu lurus ketika ‘idle’.


4. Penggunaan Keyboard
Seperti pada penggunaan mouse, ketika menggunakan keyboard usahakan agar selalu sejajar seperti terlihat pada gambar.

Syukurilah Potensi Otak Kita


Saat ini banyak bukti yang menunjukan bahwa ingatan kita tidak hanya jauh labih baik dibandingkan dengan yang kita perkirakan, namun bisa dikatakan sempurna. Kita lihat beberapa temuan berikut ini.

1. Mimpi
Banyak orang bermimpi bertemu dengan kenalan, teman, keluarga, dan kekasih mereka yang hampir selama 20 atau 40 tahun tidak pernah bertemu atau bahkan tidak pernah mereka pikirkan. Namun dalam mimpi mereka, gambaran yang muncul sangat sempurna, semua warna yang detil sama persis dengan kehidupan yang nyata. Hal ini menegaskan bahwa dalam salah satu bagian otak terdapat sebuah tempat penyimpanan yang luas untuk berbagai gambar dan hubungan yang tidak berubah gambar ini bisa diambil kembali.

2. Ingatan Acak secara Tiba-tiba
Secara umum, semua orang memiliki pengalaman yang berkaitan dengan waktu dan tiba-tiba mengingat kembali orang-oramg atau peristiwa di masa lalu dan kehidupan mereka. Hal ini sering kali terjadi misalnya saat anda mengunjungi SD tempat dulu anda sekolah. Satu sentuhan, bau, pandangan, atau suara bisa membawa kembali berbagai pengalaman yang mungkin anda kira telah anda lupakan. Kemampuan panca indra untuk menghasilkan kembali gambar-gambar dalam ingatan secara sempurna, ditambah dengan fakta bahwa bau masakan atau suara dari lagu bisa membawa pikiran anda kembali ke masa lalu. Hal ini menunjukan bahwa jika ada ‘situasi pemicu’ yang lebih tepat, maka akan banyak informasi yang dapat dikumpulkan kembali. Dari pengalaman-pengalaman seperti ini kita tahu bahwa otak tetap menyimpan informasi-informasi tersebut.

3. Sang ‘S’ (Shareshevsky) dari Rusia
Beberapa puluh tahun yang lalu seorang wartawan muda Rusia, Shereshevsky (dalam The mind of Mnomonist oleh A. R. Luria disebut dengan nama ‘S’), mengikuti sebuah pertemuan editorial, dan dia adalah satu-satunya wartawan yang tidak membuat cacatan. Saat dipaksa menjelaskan, dia malah bingung dan yang membuat heran para wartwan lain adalah bahwa dia benar-benar tidak mengerti mengapa mereka harus membuat catatan. Penjelasan yang diberikan adalah bahwa ternyata dia mampu mengingat apa saja yang dikatakan oleh si pembicara, jadi apa gunanya membuat catatan? Setelah ditantang, ‘S’ akhirnya bersedia maju kadepan dan mengulang semua yang telah dikatakan oleh si pembicara, kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan bahkan nada suaranya. Selama 30 tahun selanjutnya, dia diteliti oleh Alexander Luria, seorang psikolog terkemuka dan ahli tentang masalah ingatan di Rusia. Luria menyatakan bahwa ‘S’ sepenuhnya normal namum memliki ingatan yang sempurna. Luria juga mengatakan bahwa pada saat masih kecil ‘S’ secara tidak sengaja menemukan prinsip-prinsip mnomonic yang selanjutnya menjadi bagian dari fungsi alamiahnya.

4. Eksperimen Profesor Rosensweig
Profesor Mark Rosensweig, seorang ahli psikologi dan neuropsikologi California, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari sel otak dan kemampuan menyimpan darinya. Pada tahun 1974, dia menyatakan bahwa sekalipun kita diberi informasi baru setiap detik seumur hidup, separuh kapasitas penyimpanan otak kita saja belum sepenuhnya terisi. Dia menekankan bahwa masalah-masalah ingatan tidak ada kaitannya dengan kapasitas otak namun lebih berkaitan dengan penanganan terhadap kapasitas yang tak terbatas itu.

5. Eksperimen profesor Penfield
Profesor Wilder Penfield dari Kanada memperoleh penemuan tentang kapasitas ingtan manusia secara tidak sengaja.pada saat itu dia tengah menstimulasikan sel-sel otak dengan sejumlah elektroda kecil untuk menemukan bagian-bagian otak yang menyebabkan apilepsi.

Apa yang mengejutkannya adalah pada saat menstimulasi sel-sel otak tertentu, pasien tiba-tiba mengingat pengalaman-pengalaman di masa lalu. Para pasien mengatakan bahwa apa yang mereka ingat bukanlah gambaran sederhana namun semua aspek dari pengalaman mereka, termasuk bau, suara, gerakan dan rasa. Pengalaman yang mereka ingat termasuk mulai beberapa jam sebelum dilakukan pemeriksaan sampai 40 tahun sebelumnya.

Sehubungan dengan hal ini, Penfield menyatakan bahwa dalam masing-masing sel otak atau kumpulan sel otak terdapat suatu tempat penyimpanan informasi yang sempurna, dan jika kita bisa menemukan pemicu yang tepat maka kita bisa mengingat kembali seluruh peristiwa yang telah terjadi.

6. Kemampuan Membuat pola dari Otak Anda
Profesor Pyotr Anokhin, murid Pavlov yang paling cerdas, menghabiskan tahun-tahun terakhirnya menyelidiki kemampuan otak dalam membuat pola. Hasil temuan sangat berarti bagi para peneliti yang telah mempelajari tentang otak manusia. Ingatan manusia dicatat dalam bentuk pola-pola kecil, atau sirkuit elektro magnetik, yang dibentuk oleh sel-sel otak yang saling berhubungan satu sama yang lain.

Anokhin sebelumnya telah mengetahui bahwa otak terdiri dari satu juta juta (1.000.000.000.000) sel otak, namun jumlah sel ini yang besar ini masih cukup kecil bila di bandingkan dengan jumlah pola yang bisa di buat oleh otak. Dengan mengunakan mikroskop elektron dan coputer canggih, dan memperoleh jumlah yang sangaat luar biasa. Anokhim menghitung bahwa jumlah pola, atau ‘derajat kebebasan’, dari otak adalah sedmikian besar sehingga bila ditulis dalam bentuk bilangan panjangnya bisa satu baris. Sedangkan bila di tulis dalam bentuk huruf panjangnya akan lebih dari sepuluh setengah juta kilo meter. Dengan jumlah kemungkinan yang demikian besar, maka otak bisa dikatakan seperti keyboard di mana ratusan juta nada bisa dimainkan.

7. Pengalaman Mendekati Kematian
Banyak orang melihat dengan jelas gelembung-gelebung air permukaan kolam renang dari dasar saat mengetahui bahwa mereka akan tenggelam dua menit berikutnya; atau melihat lereng gunung yang bergerak capat saat mereka jatuh; atau merasakan datangnya sebuah kereta barang seberat 10 ton dan menabrak mereka dengan kecepatan 60 mil per jam. Hal yang sama seringkali bisa dilihat dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang selamat dri peristiwa seperti di atas. Di saat-saat ‘pertimbangan terakhir’ seperti itu, otak memperlambat segala sesuatu dan menggambarkan kembali semua pengalaman yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.

Saat diminta mengakui bahwa apa yang mereka alami hanyalah beberapa gambaran tentang pengalaman penting, mereka bersikeras bahwa apa yang mereka alami seluruh gambaran dari kehidupan mereka, termasuk hal-hal yang sama sekali mereka lupakan sampai saat peristiwa itu terjadi. ‘Seluruh hidupku tergambar di hadapanku’ hampir menjadi ungkapan klise yang menyertai pengalaman-pengalaman mendekati kematian seperti ini. Kesamaan pengalaman seperti ini sekali lagi membuktikan hebatnya kemampuan ingatan manusia.

8. Ingatan Fotografis
Ingatan fotografis adalah suatu fenomena khusus di mana orang bisa mengingat (biasaanya dalam jangka waktu yang singkat) secara sempurna dan tepat apa yang mereka lihat. Ingatan ini biasanya memudar, namun bisa sedemikian tepat sehingga memungkinkan seseorang (misalnya setelah melihat gambar yang berisi 1000 titik yang ditempatkan secara acak di sebuah lembaran kertas) untuk mengambarkan kembali dengan sempurna. Hal ini menunjukan bahwa disamping kemampuan penyimpanan jangka panjang, kita juga memiliki kemampuan penyimpanan fotografis jangka pendek. Di dalam hal ini bisa dikatakan anak-anak seringkali memiliki kemampuan ini sebagai bagian dari fungsi mental mereka, namun kita kurang melatihnya karena terlalu mengonsentrasikan pada logika dan bahasa, bukan pada imajinasi dan kemampuan-kemampuan mental lainnya.

9. 1.000 foto
Dalam eksperimen yang dilaksanakan belum lama ini, foto sebnyak 1.000 buah diperlihatkan satu per satu ke beberapa orang, masing-masing selama sekitar satu detik. Foto-foto tersebut kemudian ditambah dengan 100 foto lainnya dan mereka diminta untuk memilih foto-foto mana saja yang belum mereka lihat sebelumnya. Semua orang, bagaimanapun kondisi ingatan yang mereka katakan, mampu mengenali hmpir semua foto yang telah mereka lihat - dan secara otomatis juga yang belum mereka lihat. Mereka memang tidak mempu mngingat urutannya, namun mereka jelas mengingat gambarnya - yang dalam hal ini merupakan contoh yang menegaskan bahwa ingatan manusia lebih baik dalam mengingat wajah dibanding dengan mengingat nama.

10. Teknik Ingatan
Teknik Ingatan atau mnomonigs adalah sebuah sistam ‘kode ingatan’ yang memungkinkan individu untuk mengingat secara sempurna apa saja yang ingin meeka ingat kembali. Berbagai eksperimen yang telah dilaksanakan dengan menggunakan teknik ini menunjukan bahwa jika seseorang memperoleh nilai 9 dari 10 saat menggunakn teknik ini, maka dia juga akan memperoleh nilai 900 dari 1.000, 9.000 dari 10.000, 900.000 dari 1.000.000, dan seterusnya. Demikian juga, seseorang yang memperoleh nilai 10 juga akan memperoleh nilai 1.000.000. teknik ini bisa membantu dalam meneliti dan mempelajari kemampuan penyimpanan otak kita secara fenomenal serta menggunakan kembali informasi apa saja yang kita perlukan.

http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=42198

Senyumlah, Maka Dunia Berubah


Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yang bermukim atau pernah bermukim di sana . Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.” Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald’s yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum” ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima ‘kehadirannya’ di tempat itu.

Ia menyapa “Good day!” sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.” Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua ‘tindakan’ saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap “makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.”

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata “Terima kasih banyak, nyonya.” Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata “Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian.”

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak-anakku! ” Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena ‘bisikanNYA’ lah kami telah mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengan kami.

Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap “Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.”

Saya hanya bisa berucap “terimakasih” sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan batin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar ‘tindakan’ yang tidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa ‘kasih sayang’ Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!

Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ ini di tangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya .

“Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa ‘dahsyat’ dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: “PENERIMAAN TANPA SYARAT.”

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang-orang terdekat anda. Disini ada ‘malaikat’ yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!

Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya ’sahabat yang bijak’ yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu. Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya! Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.

Orang-orang muda yang ‘cantik’ adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang ‘cantik’ adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri. (sumber: wisdoms4ll)

09 Juni 2010

Sex Education (pendidikan seks) bagi anak-anak anda

Aku tidak membahas apakah sex education atau pendidikan seks perlu diajarkan atau tidak pada anak-anak. Tapi seiring dengan semakin cerdasnya anak-anak zaman sekarang berkat informasi yang dapat mudah diperoleh di sekitar lingkungannya, orang tua perlu juga mengetahui bagaimana cara mengajarkan, menjelaskan tentang seks pada anak-anaknya. Mungkin kisah-kisah berikut ini bisa mengilhami orang tua bagaimana menjelaskan seks secara ..... wis, baca aja sendiri, ya!

Seorang ibu mengajak anak perempuannya yang masih kecil mengunjungi museum terkenal "Night At Museum 3" ( haha ngarang... ) dan saat mereka berdua melihat patung pria tanpa busana.
'Apa itu, Ma? tanya si kecil sambil menunjuk ke penis patung tersebut.
'Bukan, bukan apa-apa, sayang,' jawab si ibu.
'Aku ingin punya satu,' kata si anak.
Si ibu mencoba mengalihkan perhatian putrinya ke objek yang lebih pantas, tapi anak kecil itu terus ngotot. 'Aku ingin punya satu yang seperti itu,' ia katakan berulang-ulang. Akhirnya si ibu menjawab, 'Jika kau perempuan yang baik dan berhenti memikirkan hal itu sekarang, ketika kau besar nanti, kau akan mempunyai satu yang seperti itu.'
'Dan jika aku tidak baik?' tanya si anak.
'Maka,' si ibu mengeluh, 'kau akan mempunyai lebih banyak lagi.'


ANATOMI KELAMIN MANUSIA
Sebuah keluarga berkumpul duduk di meja makan. Anak laki-lakinya bertanya kepada ayahnya, 'Ayah, berapa macam payudara di dunia ini?
Ayah terkejut, lalu menjawab, 'Begini, anakku, ada tiga macam payudara. Saat berumur 20 tahunan, payudara perempuan seperti buah melon, bulat dan berbentuk. Saat berumur 30-40 tahun, payudara seperti buah pir, masih indah namun sedikit menggantung. Setelah berumur 50 tahunan, payudara wanita hampir mirip seperti bawang merah.'
'Bawang merah?'
'Ya, kau melihatnya dan itu membuatmu menangis.'
Hal ini membuat marah si istri serta anak perempuannya sehingga si anak perempuan bertanya kepada ibunya, 'Ma, kalau penis, ada berapa macam jenis penis?'
Si ibu, terkejut, tersenyum dan menatap anak perempuannya dan menjawab, 'Sayang, semua pria pasti akan melewati 3 tahap. Pada usia 20 tahunan, penis pria seperti pohon oak, kokoh dan keras. Pada usia 30 sampai 40 tahun, menjadi mirip pohon Birch, fleksibel tapi dapat diandalkan. Selanjutnya saat menginjak usia 50 tahun, penis pria seperti pohon natal.'
'Seperti pohon natal?' kata si anak perempuan kebingungan.
'Ya, seperti pohon natal. sudah mati dari pucuk sampai akar dan bolanya hanya sebagai dekorasi semata.'

So, buatlah pendidikan seks mudah bagi anak didik anda, jika anda mau mengajarkannya.
He he he

Nicholas Flamel

Wisdom has various means for making its way into the heart of man. Sometimes a prophet comes forward and speaks. Or a sect of mystics receives the teaching of a philosophy, like rain on a summer evening, gathers it in and spreads it abroad with love. Or it may happen that a charlatan, performing tricks to astonish men, may produce, perhaps without knowing it himself, a ray of real light with his dice and magic mirrors. In the fourteenth century, the pure truth of the masters was transmitted by a book. This book fell into the hands of precisely the man who was destined to receive it; and he, with the help of the text and the hieroglyphic diagrams that taught the transmutation of metals into gold, accomplished the transmutation of his soul, which is a far rarer and more wonderful operation.

Thanks to the amazing book of Abraham the Jew all the Hermetists of the following centuries had the opportunity of admiring an example of a perfect life, that of Nicolas Flamel, the man who received the book. After his death or disappearance many students and alchemists who had devoted their lives to the search for the Philosopher's Stone despaired because they had not in their possession the wonderful book that contained the secret of gold and of eternal life. But their despair was unnecessary. The secret had become alive. The magic formula had become incarnate in the actions of a man. No ingot of virgin gold melted in the crucibles could, in color or purity, attain the beauty of the wise bookseller's pious life.

There is nothing legendary about the life of Nicolas Flamel. The Bibliotheque Nationale in Paris contains works copied in his own hand and original works written by him. All the official documents relating to his life have been found: his marriage contract, his deeds of gift, his will. His history rests solidly on those substantial material proofs for which men clamor if they are to believe in obvious things. To this indisputably authentic history, legend has added a few flowers. But in every spot where the flowers of legend grow, underneath there is the solid earth of truth.

Whether Nicolas Flamel was born at Pontoise or somewhere else, a question that historians have argued and investigated with extreme attention, seems to me to be entirely without importance. It is enough to know that towards the middle of the fourteenth century, Flamel was carrying on the trade of a bookseller and had a stall backing on to the columns of Saint-Jacques la Boucherie in Paris. It was not a big stall, for it measured only two feet by two and a half. However, it grew. He bought a house in the old rue de Marivaux and used the ground floor for his business. Copyists and illuminators did their work there. He himself gave a few writing lessons and taught nobles who could only sign their names with a cross. One of the copyists or illuminators acted also as a servant to him.

Nicolas Flamel married Pernelle, a good-looking, intelligent widow, slightly older than himself and the possessor of a little property. Every man meets once in his life the woman with whom he could live in peace and harmony. For Nicolas Flamel, Pernelle was that woman. Over and above her natural qualities, she had another which is still rarer. She was a woman who was capable of keeping a secret all her life without revealing it to anybody in confidence. But the story of Nicolas Flamel is the story of a book for the most part. The secret made its appearance with the book, and neither the death of its possessors nor the lapse of centuries led to the complete discovery of the secret.

Nicolas Flamel had acquired some knowledge of the Hermetic art. The ancient alchemy of the Egyptians and the Greeks that flourished among the Arabs had, thanks to them, penetrated to Christian countries. Nicolas Flamel did not, of course, regard alchemy as a mere vulgar search for the means of making gold. For every exalted mind the finding of the Philosopher's Stone was the finding of the essential secret of Nature, the secret of her unity and her laws, the possession of perfect wisdom. Flamel dreamed of sharing in this wisdom. His ideal was the highest that man could attain. And he knew that it could be realized through a book, for the secret of the Philosopher's Stone had already been found and transcribed in symbolic form. Somewhere it existed. It was in the hands of unknown sages who lived somewhere unknown. But how difficult it was for a small Paris bookseller to get into touch with those sages.

Nothing, really, has changed since the fourteenth century. In our day also many men strive desperately towards an ideal, the path which they know but cannot climb; and they hope to win the magic formula (which will make them new beings) from some miraculous visit or from a book written expressly for them. But for most, the visitor does not come and the book is not written. Yet for Nicolas Flamel the book was written. Perhaps because a bookseller is better situated than other people to receive a unique book; perhaps because the strength of his desire organized events without his knowledge, so that the book came when it was time. So strong was his desire, that the coming of the book was preceded by a dream, which shows that this wise and well-balanced bookseller had a tendency to mysticism.

Nicolas Flamel dreamed one night that an angel stood before him. The angel, who was radiant and winged like all angels, held a book in his hands and uttered these words, which were to remain in the memory of the hearer: "Look well at this book, Nicholas. At first you will understand nothing in it ¾ neither you nor any other man. But one day you will see in it that which no other man will be able to see." Flamel stretched out his hand to receive the present from the angel, and the whole scene disappeared in the golden light of dreams. Sometime after that the dream was partly realized.

One day, when Nicolas Flamel was alone in his shop, an unknown man in need of money appeared with a manuscript to sell. Flamel was no doubt tempted to receive him with disdainful arrogance, as do the booksellers of our day when some poor student offers to sell them part of his library. But the moment he saw the book he recognized it as the book that the angel had held out to him, and he paid two florins for it without bargaining. The book appeared to him indeed resplendent and instinct with divine virtue. It had a very old binding of worked copper, on which were engraved curious diagrams and certain characters, some of which were Greek and others in a language he could not decipher. The leaves of the book were not made of parchment, like those he was accustomed to copy and bind. They were made of the bark of young trees and were covered with very clear writing done with an iron point. These leaves were divided into groups of seven and consisted of three parts separated by a page without writing, but containing a diagram that was quite unintelligible to Flamel. On the first page were written words to the effect that the author of the manuscript was Abraham the Jew ¾ prince, priest, Levite, astrologer, and philosopher. Then followed great curses and threats against anyone who set eyes on it unless he was either a priest or a scribe. The mysterious word maranatha, which was many times repeated on every page, intensified the awe-inspiring character of the text and diagrams. But most impressive of all was the patined gold of the edges of the book, and the atmosphere of hallowed antiquity that there was about it.

Maranatha! Was he qualified to read this book? Nicolas Flamel considered that being a scribe he might read the book without fear. He felt that the secret of life and of death, the secret of the unity of Nature, the secret of the duty of the wise man, had been concealed behind the symbol of the diagram and formula in the text by an initiate long since dead. He was aware that it is a rigid law for initiates that they must not reveal their knowledge, because if it is good and fruitful for the intelligent, it is bad for ordinary men. As Jesus has clearly expressed it, pearls must not be given as food to swine. Was he qualified to read this book? Nicolas Flamel considered that being a scribe he might read the book without fear. He felt that the secret of life and of death, the secret of the unity of Nature, the secret of the duty of the wise man, had been concealed behind the symbol of the diagram and formula in the text by an initiate long since dead. He was aware that it is a rigid law for initiates that they must not reveal their knowledge, because if it is good and fruitful for the intelligent, it is bad for ordinary men. As Jesus has clearly expressed it, pearls must not be given as food to swine.

He had the pearl in his hands. It was for him to rise in the scale of man in order to be worthy to understand its purity. He must have had in his heart a hymn of thanksgiving to Abraham the Jew, whose name was unknown to him, but who had thought and labored in past centuries and whose wisdom he was now inheriting. He must have pictured him a bald old man with a hooked nose, wearing the wretched robe of his race and wilting in some dark ghetto, in order that the light of his thought might not be lost. And he must have vowed to solve the riddle, to rekindle the light, to be patient and faithful, like the Jew who had died in the flesh but lived eternally in his manuscript.

Nicolas Flamel had studied the art of transmutation. He was in touch with all the learned men of his day. Manuscripts dealing with alchemy have been found, notably that of Almasatus, which were part of his personal library. He had knowledge of the symbols of which the alchemists made habitual use. But those that he saw in the book of Abraham the Jew remained dumb for him. In vain, he copied some of the mysterious pages and set them out in his shop, in the hope that some visitor conversant with the Cabala would help him to solve the problem. He met with nothing but the laughter of skeptics and the ignorance of pseudo-scholars ¾ just as he would today if he showed the book of Abraham the Jew either to pretentious occultists or to the scholars at the Academie des Inscriptions et Belles Lettres.

Nicholas Flamel's Journey

For twenty-one years, he pondered the hidden meaning of the book. That is really not that long. He is favored among men for whom twenty-one years are enough to enable him to find the key of life. At the end of twenty-one years, Nicolas Flamel had developed in himself sufficient wisdom and strength to hold out against the storm of light involved by the coming of truth to the heart of man. Only then did events group themselves harmoniously according to his will and allow him to realize his desire. For everything good and great that happens to a man is the result of the co-ordination of his own voluntary effort and a malleable fate.

No one in Paris could help Nicolas Flamel understand the book. Now, this book had been written by a Jew, and part of its text was in ancient Hebrew. The Jews had recently been driven out of France by persecution. Nicolas Flamel knew that many of these Jews had migrated to Spain. In towns such as Malaga and Granada, which were still under the more enlightened dominion of the Arabs, there lived prosperous communities of Jews and flourishing synagogues, in which scholars and doctors were bred. Many Jews from the Christian towns of Spain took advantage of the tolerance extended by the Moorish kings and went to Granada to learn. There they copied Plato and Aristotle ¾ forbidden texts in the rest of Europe ¾ and returned home to spread abroad the knowledge of the ancients and of the Arab masters.

Nicolas Flamel thought that in Spain he might meet some erudite Cabalist who would translate the book of Abraham for him. Travelling was difficult, and without a strong-armed escort, safe passage was nearly impossible for a solitary traveler. Flamel made therefore a vow to St James of Compostela, the patron saint of his parish, to make a pilgrimage. This was also a means of concealing from his neighbors and friends the real purpose of his journey. The wise and faithful Pernelle was the only person who was aware of his real plans. He put on the pilgrim's attire and shell-adorned hat, took the staff, which ensured a certain measure of safety to a traveler in Christian countries, and started off for Galicia. Since he was a prudent man and did not wish to expose the precious manuscript to the risks of travel, he contented himself with taking with him a few carefully copied pages, which he hid in his modest baggage.

Nicolas Flamel has not recounted the adventures that befell him on his journey. Possibly he had none. It may be that adventures happen only to those who want to have them. He has told us merely that he went first to fulfil his vow to St James. Then he wandered about Spain, trying to get into relations with learned Jews. But they were suspicious of Christians, particularly of the French, who had expelled them from their country. Besides, he had not much time. He had to remember Pernelle waiting for him, and his shop, which was being managed only by his servants. To a man of over fifty on his first distant journey, the silent voice of his home makes a powerful appeal every evening.

In discouragement, he started his homeward journey. His way lay through Leon, where he stopped for the night at an inn and happened to sup at the same table as a French merchant from Boulogne, who was travelling on business. This merchant inspired him with confidence and trust, and he whispered a few words to him of his wish to find a learned Jew. By a lucky chance the French merchant was in relations with a certain Maestro Canches, an old man who lived at Leon, immersed in his books. Nothing was easier than to introduce this Maestro Canches to Nicolas Flamel, who decided to make one more attempt before leaving Spain.

One can easily appreciate the depth of the scene when the profane merchant of Boulogne has left them, and the two men are face to face. The gates of the ghetto close. Maestro Canches' only thought is expressed by a few polite words to rid himself as quickly as he can of this French bookseller, who has deliberately dulled the light in his eye and clothed himself in mediocrity (for the prudent traveler passes unnoticed). Flamel speaks, reticently at first. He admires the knowledge of the Jews. Thanks to his trade, he has read a great many books. At last he timidly lets fall a name, which hitherto has aroused not a spark of interest in anyone to whom he has spoken ¾ the name of Abraham the Jew, prince, priest, Levite, astrologer and philosopher. Suddenly Flamel sees the eyes of the feeble old man before him light up. Maestro Canches has heard of Abraham the Jew! He was a great master of the wandering race, perhaps the most venerable of all the sages who studied the mysteries of the Cabala, a higher initiate, one of those who rise the higher the better they succeed in remaining unknown. His book existed and disappeared centuries ago. But tradition says it has never been destroyed, that it is passed from hand to hand and that it always reaches the man whose destiny it is to receive it. Maestro Canches has dreamed all his life of finding it. He is very old, close to death, and now the hope that he has almost given up is near realization. The night goes by, and there is a light over the two heads bent over their work. Maestro Canches is translating the Hebrew from the time of Moses. He is explaining symbols that originated in ancient Chaldea. How the years fall from these two men, inspired by their common belief in truth.

But the few pages that Flamel had brought are not enough to allow the secret to be revealed. Maestro Canches made up his mind at once to accompany Flamel to Paris, but his extreme age was an obstacle. Furthermore, Jews were not allowed in France. He vowed to rise above his infirmity and convert his religion! For many years now, he had been above all religions. So the two men, united by their indissoluble bond, headed off along the Spanish roads north.

The ways of Nature are mysterious. The nearer Maestro Canches came to the realization of his dream, the more precarious became his health, and the breath of life weakened in him. Oh God! he prayed, grant me the days I need, and that I may cross the threshold of death only when I possess the liberating secret by which darkness becomes light and flesh spirit!

But the prayer was not heard. The inflexible law had appointed the hour of the old man's death. He fell ill at Orleans, and in spite of all Flamel's care, died seven days later. As he had converted and Flamel did not want to be suspected of bringing a Jew into France, he had him piously buried in the church of Sante-Croix and had masses said in his honor. For he rightly thought that a soul that had striven for so pure an aim and had passed at the moment of its fruition. could not rest in the realm of disembodied spirits.

Flamel continued his journey and reached Paris, where he found Pernelle, his shop, his copyists, and his manuscripts safe and sound. He laid aside his pilgrim's staff. But now everything was changed. It was with a joyous heart that he went his daily journey from house to shop, that he gave writing lessons to illiterates and discussed Hermetic science with the educated. From natural prudence, he continued to feign ignorance, in which he succeeded all the more easily because knowledge was within him. What Maestro Canches had already taught him in deciphering a few pages of the book of Abraham the Jew was sufficient to allow his understanding of the whole book. He spent three years more in searching and in completing his knowledge, but at the end of this period, the transmutation was accomplished. Having learned what materials were necessary to put together beforehand, he followed strictly the method of Abraham the Jew and changed a half-pound of mercury first into silver, and then into virgin gold. And simultaneously, he accomplished the same transmutation in his soul. From his passions, mixed in an invisible crucible, the substance of the eternal spirit emerged.

The Philosopher's Stone

From this point, according to historical records, the little bookseller became rich. He established many low-income houses for the poor, founded free hospitals, and endowed churches. But he did not use his riches to increase his personal comfort or to satisfy his vanity. He altered nothing in his modest life. With Pernelle, who had helped him in his search for the Philosopher's Stone, he devoted his life to helping his fellow men. "Husband and wife lavished succor on the poor, founded hospitals, built or repaired cemeteries, restored the front of Saint Genevieve des Ardents and endowed the institution of the Quinze-Vingts, the blind inmates of which, in memory of this fact, came every year to the church of Saint Jacques la Boucherie to pray for their benefactor, a practice which continued until 1789," wrote historian Louis Figuier.

At the same time that he was learning how to make gold out of any material, he acquired the wisdom of despising it in his heart. Thanks to the book of Abraham the Jew, he had risen above the satisfaction of his senses and the turmoil of his passions. He knew that man attains immortality only through the victory of spirit over matter, by essential purification, by the transmutation of the human into the divine. He devoted the last part of his life to what Christians call the working out of personal salvation. But he attained his object without fasting or asceticism, keeping the unimportant place that destiny had assigned him, continuing to copy manuscripts, buying and selling, in his new shop in the rue Saint-Jacques la Boucherie. For him, there was no more mystery about the Cemetery of the Innocents, which was near his house and under the arcades of which he liked to walk in the evenings. If he had the vaults and monuments restored at his own expense, it was nothing more than compliance with the custom of his time. He knew that the dead who had been laid to rest there were not concerned with stones and inscriptions and that they would return, when their hour came, in different forms, to perfect themselves and die anew. He knew the trifling extent to which he could help them. Yet he had no temptation to divulge the secret that had been entrusted to him through the book, for he was able to measure the lowest degree of virtue necessary for the possession of it, and he knew that the revelation of the secret to an undeveloped soul only increased the imperfection of that soul.

And when he was illuminating a manuscript and putting in with a fine brush a touch of skyblue into the eye of an angel, or of white into a wing, no smile played on his grave face, for he knew that pictures are useful to children; moreover, it is possible that beautiful fantasies which are pictured with love and sincerity may become realities in the dream of death. Though he knew how to make gold, Nicolas Flamel made it only three times in the whole of his life and then, not for himself, for he never changed his way of life; he did it only to mitigate the evils that he saw around him. And this is the single touchstone that convinces that he really attained the state of adept.

This "touchstone" test can be used by everyone and at all times. To distinguish a man's superiority, there is but a single sign: a practical and not an alleged-contempt for riches. However great may be a man's active virtues or the radiant power of his intelligence, if they are accompanied by the love of money that most eminent men possess, it is certain that they are tainted with baseness. What they create under the hypocritical pretext of good will bear within it the seeds of decay. Unselfishness and innocence alone is creative, and it alone can help to raise man.

Flamel's generous gifts aroused curiosity and even jealousy. It seemed amazing that a poor bookseller should found almshouses and hospitals should build houses with low rents, churches and convents. Rumors reached the ears of the king, Charles VI, who ordered Cramoisi, a member of the Council of State, to investigate the matter. But thanks to Flamel's prudence and reticence, the result of the inquiries was favorable to him.

The rest of Flamel's life passed without special event. It was actually the life of a scholar. He went from his house in the rue de Marivaux to his shop. He walked in the Cemetery of the Innocents, for the imagination of death was pleasant to him. He handled beautiful parchments. He illuminated missals. He paid devout attention to Pernelle as she grew old, and he knew that life holds few better things than the peace of daily work and a calm affection.

The "Death" of Flamel

Pernelle died first; Nicolas Flamel reached the age of eighty. He spent the last years of his life writing books on alchemy. He carefully settled his affairs and planned how he was to be buried: at the end of the nave of Saint Jacques la Boucherie. The tombstone to be laid over his body had already been made. On this stone, in the middle of various figures, there was carved a sun above a key and a closed book. It contains the symbols of his life and can still be seen at his gravesite in the Musee de Cluny in Paris. His death, to which he joyfully looked forward, was as circumspect and as perfect as his life.

As it is equally useful to study men's weaknesses as their finest qualities, we may mark Flamel's weakness. This sage, who attached importance only to the immortality of his soul and despised the ephemeral form of the body, was inspired as he grew old with a strange taste for the sculptural representation of his body and face. Whenever he had a church built, or even restored, he requested the sculptor to represent him, piously kneeling, in a comer of the pediment of the facade. He had himself twice sculptured on an arch in the Cemetery of the Innocents: once as he was in his youth and once old and infirm. When he had a new house built in the rue de Montmorency, on the outskirts of Paris, eleven saints were carved on the front, but a side door was surmounted with a bust of Flamel.

The bones of sages seldom rest in peace in their grave. Perhaps Nicolas Flamel knew this and tried to protect his remains by ordering a tombstone of great weight and by having a religious service held for him twelve times a year. But these precautions were useless. Hardly was Flamel dead when the report of his alchemical powers and of his concealment somewhere of an enormous quantity of gold spread through Paris and the world. Everyone who was seeking the famous projection powder, which turns all substances into gold, came prowling round all the places where he had lived in the hope of finding a minute portion of the precious powder. It was said also that the symbolical figures which he had had sculptured on various monuments gave, for those who could decipher it, the formula of the Philosopher's Stone. There was not a single alchemist but came in pilgrimage to study the sacred science on the, stones of Saint-Jacques- la Boucherie, or the Cemetery of the Innocents. The sculptures and inscriptions were broken off under cover of darkness and removed. The cellars of his house were searched and the walls examined.

According to author Albert Poisson, towards the middle of the sixteenth century a man who had a well-known name and good credentials, which were no doubt fictitious, presented himself before the parish board of Saint-Jacques la Boucherie. He said he wished to carry out the vow of a dead friend, a pious alchemist, who, on his deathbed, had given him a sum of money with which to repair Flamel's house. The board accepted the offer. The unknown man had the cellars ransacked under the pretext of strengthening the foundations; wherever he saw a hieroglyph he found some reason for knocking down the wall at that point. Having found nothing, he disappeared, forgetting to pay the workmen. Not long afterwards, a Capuchin friar and a German baron are said to have discovered in the house some stone vials full of a reddish powder ¾ allegedly the projection powder. By the seventeenth century, the various houses which had belonged to Flamel were despoiled of their ornaments and decorations, and there was nothing of them left but the four bare walls.

History of the Book of Abraham the Jew

What had happened to the book of Abraham the Jew ? Nicolas Flamel had bequeathed his papers and library to a nephew named Perrier, who was interested in alchemy and of whom he was very fond. Absolutely nothing is known of Perrier. He no doubt benefited by his uncle's teachings and spent a sage's life in the munificent obscurity that Flamel prized so dearly, but had not been able altogether to maintain during the last years of his life. For two centuries the precious heritage was handed down from father to son, without anything being heard of it. Traces of it are found again in the reign of Louis XIII. A descendant of Flamel, named Dubois, who must still have possessed a supply of the projection powder, threw off the wise reserve of his ancestor and used the powder to dazzle his contemporaries. In the presence of the King, he changed leaden balls with it into gold. As a result of this experiment, it is known he had many interviews with Cardinal de Richelieu, who wished to extract his secret. Dubois, who possessed the powder but was unable to understand either Flamel's manuscripts or the book of Abraham the Jew, could tell him nothing and was soon imprisoned at Vincennes. It was found that he had committed certain offences in the past, and this enabled Richelieu to get him condemned to death and confiscate his property for his own benefit. At the same time the proctor of the Chitelet, no doubt by order of Richelieu, seized the houses that Flamel had owned and had them searched from top to bottom. About this time, at the church of Saint-Jacques la Boucherie, robbers made their way in during the night, lifted Flamel's tombstone and broke open his coffin. It was after this incident that the rumor spread that the coffin had been found empty, and that it had never contained the body of Flamel, who was supposed to be still alive.

Through whatever means, it is believed Richelieu took possession of the book of Abraham the Jew. He built a laboratory at the Chateau of Rueil, which he often visited to read through the master's manuscripts and to try to interpret the sacred hieroglyphs. But that which a sage like Flamel had been able to understand only after twenty-one years of meditation was not likely to be at once accessible to a politician like Richelieu. Knowledge of the mutations of matter, of life and death, is more complex than the art of planning strategies or administering a kingdom. Richelieu's search gave no good results.

On the death of the cardinal, all traces of the book were lost, or rather, all traces of the text, for the diagrams have often been reproduced. Indeed, the book must have been copied, for it is recorded in the seventeenth century that the author of the Tresor des Recherches et Antiquites Gauloises made a journey to Milan to see a copy which belonged to the Seigneur of Cabrieres. In any case, the mysterious book has now disappeared. Perhaps a copy or the original itself rests under the dust of some provincial library. And it may be that a wise fate will send it at the proper time to a man who has the patience to ponder it, the knowledge to interpret it, the wisdom not to divulge it too soon.

Is Nicholas Flamel Still Alive?

But the mystery of the story of Flamel, which seemed to have come to an end, was revived in the seventeenth century. Louis VIV sent an archeologist named Paul Lucas on a mission to the East. He was to study antiquities and bring back any inscriptions or documents that could help forward the modest scientific efforts then being made in France. A scholar had in those days to be both a soldier and an adventurer. Paul Lucas united in himself the qualities of a Salomon Reinach and a Casanova. He was captured by Barbary corsairs, who robbed him, according to his own story, of the treasures he had brought from Greece and Palestine. The most valuable contribution that this official emissary made to science is summarized in the story he tells in his Voyage dans la Turquie, which he published in 1719. His account enables men of faith to reconstitute part of the history of the book of Abraham the Jew.

The story goes as follows: At Broussa Paul Lucas made the acquaintance of a kind of philosopher, who wore Turkish clothes, spoke almost every known language and, in outward appearance, belonged to the type of man of whom it is said that they " have no age." Thanks to his own cultured presence, Lucas came to know him fairly well, and this is what he learned. This philosopher was a member of a group of seven philosophers, who belonged to no particular country and traveled all over the world, having no other aim than the search for wisdom and their own development. Every twenty years they met at a pre-determined place, which happened that year to be Broussa. According to him, human life ought to have an infinitely longer duration than we admit; the average length should be a thousand years. A man could live a thousand years if he had knowledge of the Philosopher's Stone, which, besides being knowledge of the transmutation of metals, was also knowledge of the Elixir of life. The sages possessed it and kept it for themselves. In the West, there were only a few such sages. Nicolas Flamel had been one of them. Paul Lucas was astonished that a Turk, whom he had met by chance at Broussa, should be familiar with the story of Flamel. He was still more astonished when the Turk told him how the book of Abraham the Jew had come into Flamel's possession, for hitherto no one had known this.

“Abraham the Jew was a member of our group," the man told him. "He had determined not to lose sight of the descendants of his brothers who had taken refuge in France. He had a desire to see them, and in spite of all we could do to dissuade him he went to Paris. He made the acquaintance there of a rabbi who was seeking the Philosopher's Stone, and our friend became intimate with the rabbi and was able to explain much to him. But before he left the country the rabbi, by an act of treachery, killed our brother to get possession of his book and papers. The rabbi was arrested, convicted of this and other crimes and burned alive. The persecution of the Jews in France began not long afterwards, and they were expelled from the country. The book of Abraham was sold to Flamel by a Jewish man who did not know its value and was anxious to get rid of it before leaving Paris. Having discovered the Philosopher's Stone, Flamel was able to remain alive in the physical form he possessed at the time of his discovery. Pernelle's and his own funerals and the minute care he bestowed on the arrangements for them had been nothing but clever shams.”

But the most amazing thing that Paul Lucas heard was the statement made by the Turk that both Flamel and his wife Pernelle were still alive! Having discovered the Philosopher's Stone, Flamel had been able to remain alive in the physical form he possessed at the time of his discovery. Pernelle's and his own funerals and the minute care he bestowed on the arrangements for them had been nothing but clever shams. He had started out for India, the country of the initiates, where he still lived. The publication of Paul Lucas' book created a great sensation. In the seventeenth century, like today, there lived discerning men who believed that all truth came out of the East and that there were in India adepts who possessed powers infinitely greater than those that science so parsimoniously metes out to us. In fact, this is a belief that has existed at every period in modern human history.

Was Nicolas Flamel one of these adepts? Even if he was, can it reasonably be presumed that he was alive three centuries after his supposed death, by virtue of a deeper study than had yet been made of the life force and the means of prolonging it? Is it relevant to compare with Paul Lucas' story another tradition reported by Abbe Vilain, who says that in the seventeenth century, Flamel visited Monsieur Desalleurs, the French ambassador to the Sublime Porte? Every man, according to his feeling for the miraculous, must come to his own conclusion. I think, myself, that in accordance with the wisdom which he had always shown, Nicolas Flamel, after his discovery of the Philosopher's Stone, would have had no temptation to evade death; for he regarded death merely as the transition to a better state. In obeying, without seeking escape, the ancient and simple law that reduces man to dust when the curve of his life is ended, he gave proof of a wisdom that is none the less beautiful for being widespread.


(Magicians, Seers, and Mystics by Reginald Merton)

08 Juni 2010

Istilah-istilah dalam Forum, dan sebagainya

Berikut istilah-istilah yang terkadang digunakan dalam Forum, dan sebagainya

OOT : Out Of Topic

COD : Cash on Delivery

PM : Private message

swt: sama dengan chapeee deehh :D

TS = Topic Starter

CMIIW = Correct Me If I’m Wrong = betulkan jika aku salah

IMHO/IMO = In My Humble Opinion = Menurut Pendapat Saya

ASAP : As Soon As Possible = secepatnya saya bisa

BTW : By The Way = ngomong ngomong iki artine sebenere apa sih

FWIW : For What It’s Worth = ini agak gak ngarti

FYI : For Your Information, or For Your Interest = informasi untuk kamu

OTF : On The Floor (laughing); writing is funny = ketawa ngakak

ROTFL : Rolling On the Floor Laughing; writing is very funny = ketawa ngakak sambil guling-guling di lantai

OIC : Oh, I see… = oh gitu toh..

RSN : Real Soon Now = secepatnya

TIA : Thanks In Advance = terima kasih sebelumnya

OOT = Out Of Topic = keluar dari topik yg dibicarakan

ITT = In The Topic = di dalam topik bahasan

BRB = be right back = segera kembali

BBL = be back later = nanti akan kembali

NP = no problem = tidak apa-apa

WTF = what the f*** = APA?? :censored:

BBIAF = be back in a flash = kembali sebentar lagi

TTFN = ta ta for now = dadaagghh!!

J/K = just kidding = hanya bercanda

WB = welcome back = selamat datang

RTFM = read the f***ing manual = BACA PETUNJUK!!! :knupel2: :censored:

GTG = got to go = mau offline karena mau pergi

GR8 = great = keren

AQ = aku

GW = gue

t4 = tempat

aka / a.k.a = also known as

LOL = Laughing Out Loud (ketawa ngakak) bisa bermakna mengejek

WTS = Wait To See (silahkan tunggu)

omg = oh my God....

WTS... want to sel kaleeee......

KKLP = Kembali Ke Laptop....

S.T.F.U = Shut The F*** Up

GTFO : Get The Fk Out <- Nyuruh orang pergi
Contoh :
A : ih omongan'a pd ga disaring...si xxxx apalagi...masa bawa2 "WTS"(w*n*ta t*na s**ila) sih......haaaaaaaa
B : GTFO thread ini

FTW : For The Win <- Menunjukkan antusiasme pada hal tertentu
Contoh :
A : Beli PSU Corsair, bagus!
B : Corsair FTW!